Telusur Etika Kepemimpinan: Refleksi Pemikiran Romo Magnis tentang Tanggung Jawab Pejabat Publik
Sumber : Badan Kebudyaan Nasional |
Sabab musabab
Dalam konteks Pemilu 2024 yang penuh dengan ketegangan, Romo Magnis dipanggil selaku ahli oleh dua kandidat dalam persidangan di MK. Ia menyoroti berbagai pelanggaran etika yang terjadi, salah satunya terkait Gibran Rakabumiung Raka , anak Presiden Joko Widodo, yang didaftarkan sebagai Cawapres . Mengacu pada keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Romo Magnis mengkritik keras penyalahgunaan kekuasaan dan sikap presiden yang tidak netral selama pemilihan, yang secara tidak langsung mempengaruhi dukungan dari aparatur sipil, kepolisian, dan militer terhadap calon tertentu. Hal ini, menurutnya, merupakan pelanggaran etik berat dan menunjukkan hilangnya pemahaman dasar etika dalam memegang jabatan presiden, di mana kekuasaan seharusnya digunakan untuk melayani masyarakat luas, bukan kepentingan pribadi (Kompas.id, 2 April 2024).
Pendekatan Etika Pejabat Publik
Mengadopsi filosofi Jawa, "kuoso nggendong lali" (kuasa membawa lupa), konsep ini mengingatkan pada risiko kekuasaan yang bisa membuat pemegangnya lupa diri—mulai dari lupa asal-usul, teman, bahkan tujuan semula mendapatkan kekuasaan. Ajaran ini relevan hingga kini, terutama bagi pemimpin di Indonesia yang terkadang melupakan bentuk negara republik ini yang bukanlah kerajaan. Melihat lebih jauh ke dalam teori Siklus Polybius dan prinsip etika politik Immanuel Kant, kedua pandangan ini menekankan pentingnya kepemimpinan yang berorientasi pada kebaikan bersama dan kewajiban moral, bukan kepentingan sempit pribadi atau kelompok.
Kritik Romo Magnis, walau dianggap oleh sebagian pihak sebagai penghakiman prematur, sejatinya menggugah refleksi mendalam tentang etika kepemimpinan dan tanggung jawab seorang presiden terhadap rakyatnya. Menjadi pejabat publik, khususnya dalam posisi politik tinggi, memang berarti harus siap menerima kritik dan penilaian dari masyarakat. Presiden, sebagai pemimpin yang dipilih oleh mayoritas, harus mengedepankan kepentingan bersama di atas segalanya. Ini merupakan esensi dari kekuasaan yang dianugerahkan, bukan untuk pemuasan diri, melainkan untuk pelayanan terhadap publik.
Mengingat prinsip kekuasaan dalam kebudayaan Jawa yang
mengatakan kekuasaan datang dari Tuhan dan harus digunakan dalam kesatuan
antara rakyat dan pemimpin (manunggaling kawula gusti), refleksi ini membawa
kita pada pemahaman bahwa etika dan tanggung jawab tidak bisa dilepaskan dari
posisi kepemimpinan, terlebih lagi dalam konteks kepresidenan. Pernyataan dan
pandangan Romo Magnis tidak hanya membuka ruang diskusi tentang etika
kepemimpinan saat ini, tetapi juga menuntut introspeksi dan pemahaman mendalam
tentang apa artinya menjadi seorang pemimpin di mata publik dan dalam tatanan
etika yang lebih luas.