Buaya sarawak. Foto by IKN TIME
SARAWAK – Sungai-sungai di Sarawak kini bukan lagi
sekadar jalur kehidupan, tapi juga menjadi arena ketegangan baru antara manusia
dan predator purba. Populasi buaya muara (Crocodylus porosus) di wilayah ini
dilaporkan melonjak drastis, memicu kekhawatiran publik dan membuat pemerintah
Sarawak mengambil langkah serius: mengirim tim ke Australia untuk belajar
langsung cara mengelola konflik manusia–buaya.
Lonjakan populasi ini disebut sebagai yang tertinggi dalam beberapa dekade terakhir. Berdasarkan laporan Dinas Kehutanan Sarawak, jumlah buaya muara kini diperkirakan mencapai lebih dari 25.000 ekor, tersebar di lebih dari 40 Daerah Aliran Sungai (DAS). Padahal, pada 2014 jumlahnya masih sekitar 13.500 ekor.
Kenaikan populasi tersebut terjadi setelah pemerintah memberlakukan kebijakan konservasi ketat untuk melindungi spesies ini dari perburuan dan perdagangan liar. Namun, keberhasilan konservasi ini justru membawa persoalan baru: meningkatnya Human Crocodile Conflict (HCC) atau konflik manusia–buaya.
Konflik Semakin Sering Terjadi
Di beberapa daerah seperti Samarahan, Sri Aman, dan Bintulu, insiden serangan buaya dilaporkan meningkat dalam dua tahun terakhir. Survei di DAS Samarahan menunjukkan peningkatan kepadatan buaya dari 0,98 ekor per km pada 2019 menjadi 6,49 ekor per km pada 2021 — sebuah lonjakan tajam yang menandakan habitat alami semakin padat.
Situasi ini membuat aktivitas warga di sepanjang sungai menjadi lebih berisiko. Sejumlah nelayan enggan turun ke air pada malam hari, dan warga di pedesaan kini membatasi aktivitas mencuci atau mandi di sungai.
Belajar dari Australia
Untuk mencari solusi jangka panjang, pemerintah Sarawak
mengirim tim khusus ke Australia, negara yang dikenal sukses dalam pengelolaan
populasi buaya. Di sana, program seperti “Be Crocwise” telah terbukti menekan
angka serangan buaya tanpa merusak ekosistem.
Misi ini bertujuan mempelajari sistem pemantauan populasi, teknik relokasi buaya bermasalah, serta pendekatan edukasi masyarakat. Australia dianggap sebagai contoh ideal karena mampu menyeimbangkan konservasi dengan keselamatan publik sejak tahun 1970-an.
Namun, adaptasi kebijakan tersebut di Sarawak tidak mudah. Faktor geografis, keterbatasan anggaran, serta konteks budaya lokal — di mana buaya dianggap makhluk sakral oleh sebagian masyarakat adat Iban dan Melanau — menjadi tantangan tersendiri.
Pendekatan Baru yang Lebih Manusiawi
Pemerintah Sarawak kini tengah menyiapkan pendekatan multipihak yang melibatkan ahli konservasi, komunitas lokal, dan lembaga internasional. Strategi yang dikaji meliputi:
- Survei rutin populasi buaya di sungai-sungai utama.
- Peningkatan edukasi publik melalui kampanye keselamatan sungai.
- Relokasi buaya agresif ke area konservasi tertutup.
- Zonasi khusus antara habitat buaya dan wilayah aktivitas manusia.
Selain itu, opsi pengendalian populasi dengan sistem
“take quota” atau izin tangkap terbatas juga mulai dibahas, namun dengan syarat
ketat agar tidak merusak keseimbangan ekosistem.
Antara Konservasi dan Keselamatan
Pemerintah menegaskan bahwa langkah ini bukan untuk membasmi buaya, tetapi untuk memastikan keseimbangan antara konservasi satwa liar dan keamanan manusia. Buaya muara tetap dilindungi di bawah undang-undang konservasi, namun tindakan cepat dibutuhkan agar sungai tidak berubah menjadi wilayah terlarang bagi manusia.
Dengan pengelolaan yang tepat dan pembelajaran dari
Australia, Sarawak berharap dapat menciptakan model coexistence — manusia dan
buaya hidup berdampingan, tanpa harus saling mengancam.