
Cover buku Orang Barito Abad XIX
Oleh: Iram Rangi
Resensi Buku: “Orang Barito Abad XIX” – Menyusuri Sungai
Sejarah dan Identitas

Buku Orang Barito Abad XIX adalah perjalanan
menyusuri nadi sejarah Kalimantan Selatan, sebuah usaha akademis untuk
menyingkap lapisan identitas etnis yang terbentuk di tepian Sungai Barito.
Berdasarkan sumber primer abad ke-19 seperti catatan Schwaner, Bangert, hingga
naskah kolonial Belanda, buku terbitan Sinar Bagawan Kharulistiwa yang diluncurkan
lewat distributor resmi Anyarmart ini merekonstruksi bagaimana orang-orang
Dayak Ngaju, Maanyan, Lawangan, Dusun, Siang-Murung, dan Bakumpai menjadi
fondasi kehidupan sosial dan politik di wilayah Barito sebelum munculnya
identitas “orang Banjar”.
Penulis tidak sekadar menelusuri sejarah, melainkan
melakukan bedah anatomi terhadap proses etnogenesis—kelahiran etnis baru
melalui perpaduan budaya, politik, dan agama. Di sini, Orang Barito Abad XIX
menempatkan dirinya bukan hanya sebagai karya sejarah, tetapi juga etnografi
yang tajam dan reflektif.
Sungai Barito: Urat Nadi Borneo Lama
Schwaner, dalam catatan tahun 1853, menyebut penghuni sungai
Barito dari muara hingga hulu terdiri dari berbagai subetnis Dayak. Sungai
Barito pada masa itu bukan sekadar jalur perdagangan, melainkan ruang sirkulasi
gagasan, kepercayaan, dan kekuasaan. Di sinilah terbentuk apa yang disebut
“orang negeri” – istilah kolonial yang merujuk pada penduduk asli Borneo,
berbeda dengan “orang dagang” dari luar seperti Melayu, Arab, Cina, dan Bugis.
Perjumpaan dua kelompok ini melahirkan sebuah dinamika
sosial yang pada akhirnya menciptakan identitas baru: orang Banjar. Proses ini
tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui interaksi panjang sejak abad
XVI ketika Pangeran Samudera dan para Patih Dayak Ngaju membangun kerajaan
Banjarmasih dengan bantuan Demak dan syarat masuk Islam.
Etnogenesis dan Politik Identitas
Penulis dengan cermat menunjukkan bahwa Banjar awalnya
adalah entitas politik, bukan etnis. Baru pada abad XX, seiring munculnya
nasionalisme dan konsep ke-Indonesiaan, “orang Banjar” diakui sebagai kelompok
etno-kultural. Analisis ini sejalan dengan teori etnogenesis Andrew Gillett
yang menyebut etnis sebagai hasil dari pertemuan budaya yang membentuk
identitas kohesif.
Sementara itu, kisah orang Bakumpai di Muara Bahan menambah
lapisan penting dalam narasi ini. Mereka adalah Dayak Ngaju yang memeluk Islam
lebih awal dan menjadi jembatan penyebaran agama serta perdagangan. Identitas
Bakumpai tumbuh sebagai etno-religius hibrida — perpaduan budaya Dayak
dengan ajaran Islam — yang dijelaskan penulis melalui konsep Third Space
Homi K. Bhabha, yaitu ruang antara budaya tempat simbol-simbol baru lahir dan
bertahan.
Konflik, Pendidikan, dan Transisi Sosial
Buku ini tak berhenti di wilayah muara. Ia mengalir hingga
hulu Barito, menyingkap kisah orang Maanyan, Lawangan, Dusun, dan Siang Murung.
Dari catatan Bangert dan Schwaner, pembaca diajak melihat masyarakat yang sudah
mengenal pendidikan, perdagangan, bahkan reformasi sosial seperti penghapusan
perbudakan oleh pemimpin Maanyan, Soeta Ono, jauh sebelum Kongres Tumbang Anoi
1894.
Bagian paling menarik adalah hubungan mereka dengan Perang
Banjar. Tokoh-tokoh seperti Tamanggung Surapati, Aria Pati, dan pasukan Siang
Murung digambarkan sebagai kekuatan militer lokal yang tangguh, memperlihatkan
bagaimana etnis-etnis di Barito bukanlah kelompok pasif, melainkan aktor
sejarah yang ikut membentuk arah politik regional abad XIX.
Sumber, Metodologi, dan Keunggulan Akademis
Kekuatan utama buku ini terletak pada landasan
dokumenternya. Penulis menggabungkan catatan kolonial (Schwaner, Bangert, Le
Rutte, Perelaer) dengan teks lokal seperti Hikayat Banjar dan hasil
penelitian modern (Zamzaroh 2020; Siyok 2025). Pendekatan ini menghasilkan
sintesis yang solid antara data historis dan interpretasi etnologis. Buku ini
juga merekonstruksi definisi “Dayak” secara kontekstual—bukan sekadar label
kolonial, tetapi entitas yang hidup, beradaptasi, dan terus mendefinisikan
dirinya di tengah arus sejarah.
Refleksi: Menemukan Jati Diri di Hulu Sungai
Orang Barito Abad XIX pada akhirnya bukan hanya
cerita masa lalu. Ia adalah cermin bagaimana identitas di Nusantara selalu
lahir dari perjumpaan dan negosiasi. Sungai Barito menjadi metafora kehidupan
itu sendiri—mengalir, bercabang, namun bermuara pada kesadaran bahwa etnisitas
di Kalimantan bukan garis pemisah, melainkan jembatan sejarah.
Buku ini penting bukan hanya bagi sejarawan, tapi juga bagi
siapa pun yang ingin memahami akar sosiokultural Kalimantan dan pembentukan
Indonesia modern. Ia mengingatkan kita bahwa identitas selalu cair, hasil dari
perjalanan panjang antara air, tanah, dan manusia.
Kalimat terakhir buku ini terasa seperti gema dari sungai
yang tak pernah mati: sejarah bukan untuk dikenang, tapi untuk dipahami—karena
di arus masa lalu itu, identitas kita mengalir.