![]() |
| Tatung beraksi di Kampung Kapus. Foto: ikntime.com |
Pontianak — Malam di Kampung Kapur, Kecamatan Pontianak Kota, terasa lain sejak pagi. Warga RT 08 RW 06 bergerak dari subuh, pasang tenda, tata altar, sampai gantung spanduk besar dari Sekretariat Lembaga Pencinta Seni Budaya Serumpun Mandiri. Semua itu untuk satu tujuan: ritual penghormatan ke-9 bagi keramat Ne’ Gajah dan Ne’ Muok yang digelar Keluarga Besar Tung San Pak Kung.
Acara dimulai jam 10 pagi, tapi suasananya sudah terasa dari jauh. Jalan kecil di Kampung Kapur penuh orang hilir mudik. Bau dupa naik perlahan. Denting mangkuk sembahyang bersahutan pelan. Dari ujung lorong, panitia sibuk menyusun persembahan sambil sesekali saling teriak, “Cepat dikit bah, malam kita ada Tatung!”
Petrus Bhino, mewakili panitia, bilang kegiatan ini bukan sekadar adat tahunan. “Ini tradisi turun dari orang tua dulu. Kita minta berkah, minta keselamatan. Bukan acara gagah-gagahan,” katanya. Nada suaranya tegas, gaya Pontianak betul: blak-blakan tapi sopan.
Mustopit, Ketua RT setempat, ikut mem-backup acara ini. Ia bilang Kampung Kapur memang berdiri di atas kebhinekaan. “Di sini Cina ada, Dayak ada, Melayu ada. Kita sama-sama hidup. Ritual begini bukan hal aneh. Ini budaya kita di Pontianak,” ujarnya.
Puncak acara: ritual Tatung jam 19.00 sampai 21.00. Begitu malam turun, orang mulai kumpul. Lampu-lampu sengaja diredupkan sedikit supaya suasananya “naik.” Tatung berjalan perlahan melewati altar—wajah tenang, tubuh tegak, kadang mata setengah terpejam. Benda tajam menari di sekeliling tubuh mereka. Penonton sunyi. Tak ada sorakan, tak ada tantangan. Semua tahu: ini bukan show hiburan, tapi ruang sakral.
Dalam budaya Kalbar, terutama pengaruh Hakka di Singkawang dan Dayak di pesisir, Tatung dipercaya menjadi medium antara manusia dan roh leluhur. Jika tubuhnya tak terluka, itu dianggap pertanda alam semesta merestui usaha dan rezeki warga. Di Kampung Kapur, keyakinan itu masih hidup kuat. Orang sini menyebutnya “tanda baik,” macam lampu hijau dari dunia tak kasatmata.
Tahun ini, ritual terasa lebih ramai karena dukungan komunitas seni budaya yang kian aktif. Spanduk Serumpun Mandiri di belakang altar seperti menegaskan bahwa identitas budaya di Pontianak bukan milik satu etnis saja, tapi milik siapa pun yang mau merawatnya.
Acara ditutup dengan jonggan, tarian kegembiraan khas Dayak yang membuat suasana jadi longgar lagi setelah ketegangan sakral Tatung. Orang tertawa, anak-anak berlari, dan beberapa warga menyapa tamu sambil bilang, “Begini lah budaya kami. Tenang di awal, meriah di akhir.”
Sekitar tengah malam, perlahan warga pulang. Jalanan kembali sunyi, tapi aroma dupa masih menggantung di udara. Ritual ke-9 ini seakan mengingatkan bahwa di Pontianak, modernitas tak pernah menghapus tradisi. Selama orang masih percaya kepada leluhur, Kampung Kapur akan terus hidup dengan caranya sendiri—pelan, khidmat, tapi penuh nyawa.



