![]() |
| Cover buku Antologi Cerpen Tembawang. Desain cover oleh Alexander Mering |
Oleh: Iram Rangi
Dari jumlah itu, 11 naskah adalah karya pemenang utama dan juara favorit, menjadikan buku ini bukan hanya antologi sastra, tetapi juga peta kecil pergerakan literasi Dayak kontemporer.
Peluncuran antologi ini dijadwalkan 31 Oktober 2025 di Kampus ITKK, Sekadau, Kalimantan Barat—sebuah momentum yang menandai keseriusan generasi muda Dayak dalam menulis sejarahnya sendiri lewat fiksi.
Menulis dari Akar yang Hidup
“Tembawang” dalam pengertian budaya Dayak bukan sekadar hutan bekas ladang. Ia adalah ruang spiritual, sosial, dan ekologis di mana kehidupan tumbuh kembali setelah panen dan peralihan musim. Tema ini menjelma dengan beragam cara dalam cerpen-cerpen yang disajikan: ada yang membingkainya sebagai ruang kenangan masa kecil, ada yang menjadikannya medan konflik identitas, dan ada pula yang menggunakannya sebagai metafora perlawanan terhadap kerusakan lingkungan dan ketimpangan sosial.
Daya tarik utama buku ini justru pada keragaman suara dan gaya penulisnya. Kita membaca kisah-kisah yang lahir dari masyarakat adat, guru desa, mahasiswa, aktivis, bahkan jurnalis. Setiap penulis membawa latar pengalaman dan dialek emosionalnya sendiri. Dalam satu cerita, Tembawang digambarkan seperti ibu yang menjaga anak-anaknya dari serakah korporasi; dalam cerita lain, ia menjadi makam yang menyimpan rahasia leluhur.
Kehadiran beragam sudut pandang ini membuat buku ini terasa seperti pohon dengan banyak cabang, tumbuh dari akar yang sama: cinta pada tanah dan kebudayaan.
Bahasa yang Mengakar dan Bernyanyi
Salah satu kekuatan utama antologi ini adalah keberanian bahasanya. Banyak cerpen memadukan Bahasa Indonesia, Bahasa Malaysia dengan istilah lokal Dayak, baik Iban, Kanayatn, maupun Bidayuh, tanpa kehilangan makna universal. Dalam tangan penulis-penulis muda ini, bahasa daerah tidak menjadi penghalang, melainkan pintu gerbang menuju rasa dan pengetahuan yang lebih dalam.
Seperti dalam cerpen “Asap di Tembawang”, penulis menggambarkan duka kehilangan hutan dengan gaya surealis yang menyentuh. Sementara dalam “Aroma Getah dan Doa Nenek”, kita diajak menyelami nostalgia masa kecil di tepian sungai yang kini menjadi jalan logging.
Beberapa karya lain menampilkan kekuatan perempuan Dayak sebagai penjaga hutan, pengingat adat, dan simbol ketahanan. Tema ekofeminisme, identitas adat, dan perlawanan ekologis muncul kuat tanpa menjadi ceramah.
Setiap cerita terasa lahir dari tanah—bukan ditulis dari menara gading, tapi dari pondok bambu, surau, dan beranda rumah panjang.
Kritik Sosial dalam Cerita
Di balik kelembutan bahasanya, antologi ini juga menyimpan api kritik sosial. Banyak cerita menggugat ironi pembangunan yang menyingkirkan warga lokal, membongkar luka kolonialisme baru dalam bentuk korporasi sawit, serta menggugat hilangnya bahasa ibu di tengah arus global.
Namun cara penyampaiannya tidak frontal. Penulis-penulis di dalam Tembawang tahu bagaimana meramu pesan politik dengan estetika. Mereka menulis dengan kesadaran bahwa sastra Dayak bukanlah protes yang bising, melainkan bisikan tajam yang mengguncang nurani.
Kelebihan dan Ruang Perbaikan
Sebagai antologi, Tembawang berhasil menjaga keseimbangan antara estetika dan etika. Ia menampilkan keberagaman bentuk tanpa kehilangan arah tematik. Beberapa cerita tampil dengan struktur kuat dan imaji visual yang sinematik—layak diadaptasi menjadi film pendek.
Namun, seperti hutan yang tak semuanya pohon tegak lurus, kualitas cerpen di dalamnya memang seragam. Ada beberapa karya yang terlalu bergantung pada gaya tutur lisan, sehingga kehilangan kedalaman dramatik. Ada pula yang terasa lebih seperti catatan pengalaman pribadi daripada fiksi utuh.
Meski begitu, hal itu justru memperlihatkan dinamika khas antologi lintas penulis: energi muda yang liar tapi jujur. Kekayaan dialek, diksi, dan sudut pandang menjadi bukti bahwa sastra Dayak sedang bertumbuh dari akar, bukan tumbuhan yang disemai oleh lembaga luar.
Dari Sekadau ke Dunia
Peluncuran buku ini di Sekadau menjadi simbol penting: bahwa pusat sastra Indonesia tidak selalu di Jakarta atau Yogyakarta. Suara-suara baru sedang tumbuh dari hulu sungai, dari kampus kecil di Kalimantan Barat, dari ruang-ruang belajar komunitas.
Sastrawan muda Dayak kini menulis dengan kesadaran kosmopolitan—berbicara kepada dunia tanpa kehilangan dialek tanah sendiri. Mereka tidak sedang menuntut pengakuan; mereka hanya mengembalikan bahasa kepada bumi.
Antologi yang Menanam Masa Depan
Tembawang adalah antologi perlawanan sekaligus perayaan. Ia menunjukkan bahwa menulis bisa menjadi bentuk menanam—menanam makna, menanam ingatan, menanam harapan.
Dari 29 cerita yang menghuni halaman-halamannya, kita mendengar gema yang sama: “Hutan bisa ditebang, tapi jiwa kami tidak.”
Di era ketika literasi sering disempitkan jadi slogan, Tembawang mengembalikannya ke akar sejatinya: sebagai tindakan kultural untuk menyelamatkan manusia dari lupa. Dan jika benar bahwa setiap buku punya nyawa, maka Tembawang hidup seperti hutan yang terus tumbuh — pelan, hening, tapi pasti, memberi oksigen bagi kesadaran kita semua.



