Gelombang Amarah yang Mengguncang Nusantara: Rahasia di Balik Demonstrasi Agustus 2025
Demo DPR-RI 29 Agustus 2025
JAKARTA– Saat matahari terbenam pada 28 Agustus 2025, jalanan kawasan Senayan berubah menjadi medan perang. Seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan, 32 tahun, tewas tragis setelah dilindas kendaraan lapis baja polisi di tengah hiruk-pikuk demonstrasi. Kematiannya bukan hanya satu korban, melainkan percikan yang membakar gelombang protes nasional, menewaskan lima orang dan melukai ratusan lainnya. Demonstrasi besar-besaran ini, yang dimulai sebagai kritik terhadap kemewahan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dengan cepat membengkak menjadi jeritan rakyat atas krisis ekonomi dan ketidakadilan sosial. Apa yang sebenarnya terjadi di balik kekacauan ini, dan mengapa Indonesia, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, kembali diuji oleh amarah massa?
Gelombang demonstrasi dimulai pada 25 Agustus 2025, ketika ribuan mahasiswa, buruh, dan aktivis turun ke jalan di Jakarta, menargetkan Gedung DPR. Pemicu utamanya adalah rencana kenaikan tunjangan perumahan anggota DPR hingga Rp 42 juta per bulan—sepuluh kali lipat dari upah minimum buruh di banyak daerah. Protes ini segera meluas ke 33 provinsi, dengan 228 aksi tercatat hingga 7 September, menurut data Kementerian Dalam Negeri. Tuntutan awal, yang dikenal sebagai "17+8 Tuntutan Rakyat", mencakup pemangkasan tunjangan legislator, kenaikan upah minimum, penurunan pajak, penguatan anti-korupsi, dan reformasi kebijakan ekonomi yang dianggap memihak oligarki.
Kronologi peristiwa menunjukkan eskalasi yang cepat. Pada 25 Agustus, aksi damai di Jakarta berujung bentrokan ringan dengan aparat. Namun, pada 28 Agustus, situasi memburuk di kawasan GBK dan Pejompongan. Massa bentrok dengan polisi, yang menggunakan gas air mata dan peluru karet, sementara demonstran melempar batu dan membakar ban. Kematian Affan menjadi titik balik: video amatir yang viral menunjukkan ranjau taktis (rantis) polisi menabraknya saat ia berusaha melarikan diri. Hingga 31 Agustus, kerusuhan menyebar ke Solo, Yogyakarta, Semarang, dan kota-kota lain, disertai penjarahan toko dan perusakan fasilitas umum. Korban jiwa bertambah menjadi lima orang, termasuk dua di Jakarta dan satu masing-masing di Solo, Yogyakarta, serta Semarang. Sebanyak 600 orang ditangkap awalnya, meskipun sekitar 4.800 massa dari seluruh Indonesia kemudian dibebaskan, sementara 583 orang diproses hukum terkait kerusuhan.
Penyebab mendalam demonstrasi ini terletak pada akumulasi frustrasi ekonomi. Indonesia menghadapi inflasi pangan yang melonjak, pengangguran pemuda mencapai 14 persen, dan ketimpangan pendapatan yang semakin lebar pasca-pandemi. Protes ini mencerminkan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah baru di bawah Presiden Prabowo Subianto, yang dianggap kurang responsif terhadap biaya hidup yang melonjak. "Ini bukan sekadar soal tunjangan DPR; ini jeritan rakyat yang merasa ditinggalkan oleh elite politik," ujar Prof. Muradi, pakar keamanan dan mantan penasihat Kapolri, dalam wawancara dengan kumparan. Ia menilai aparat keamanan keliru membaca situasi, meremehkan potensi eskalasi pada 25 dan 28 Agustus, yang menyebabkan respons represif berlebihan.
Dari perspektif pemerintah, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menekankan bahwa demonstrasi tetap dalam koridor hukum, meskipun disertai kekerasan. "Kami catat 228 aksi, mayoritas damai, tapi kerusuhan dimanfaatkan kelompok oportunis," katanya pada 8 September. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjanjikan penyelidikan tuntas terhadap dalang kerusuhan, bekerja sama dengan Badan Intelijen Negara (BIN) dan TNI. "Polri berkomitmen menjaga stabilitas tanpa melanggar hak asasi manusia," tegasnya, meskipun kritik terhadap tindakan polisi terus bergulir.
Tuntutan demonstran juga mencakup isu lingkungan dan hak buruh. Sekar dari Greenpeace Indonesia, yang ikut dalam Aksi Kamisan ke-876 pada 4 September, menyatakan, "Vandalisme sejati adalah yang dilakukan pemerintah terhadap alam—deforestasi dan polusi yang merugikan rakyat kecil." Sementara itu, serikat buruh menuntut penghapusan outsourcing dan kenaikan upah 50 persen. Wakil Ketua Komisi XIII DPR Sugiat Santoso memuji strategi Presiden Prabowo yang menggelar pertemuan dengan tokoh masyarakat pada 30-31 Agustus untuk meredam gejolak. "Ini langkah bijak menjaga stabilitas politik," katanya.
Respons pemerintah mencakup pemangkasan tunjangan DPR, seperti diumumkan pimpinan DPR, dan janji evaluasi kebijakan ekonomi. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berpendapat bahwa tuntutan "17+8" hanya mewakili sebagian kecil masyarakat. "Ekonomi kita stabil; ini aspirasi kelompok yang belum merasakan manfaat perbaikan," ujarnya. Namun, Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menegaskan pembebasan massal tahanan sebagai upaya memulihkan kepercayaan publik. "Kami prioritaskan hak asasi, meski hukum tetap ditegakkan," tambahnya.
Dampak demonstrasi ini meluas. Ekonomi mengalami kerugian miliaran rupiah akibat penjarahan dan penutupan jalan, sementara citra Indonesia di mata internasional tercoreng. Pengamat seperti yang dikutip BBC menuduh polisi "melampaui batas" dalam penanganan, memicu tuntutan reformasi aparat. Presiden Prabowo sendiri menyatakan kondisi ekonomi tetap solid berkat kesadaran elite politik. "Kepentingan bangsa di atas segalanya," katanya dalam pidato pasca-pertemuan.
Secara keseluruhan, demonstrasi Agustus 2025 menjadi pengingat bagi demokrasi Indonesia: hak berekspresi harus diimbangi dengan tanggung jawab. Meski kerusuhan mereda, tuntutan rakyat menuntut perubahan struktural. Apakah ini babak baru reformasi, atau hanya jeda sementara sebelum ledakan berikutnya? Waktu akan menjawab, tapi satu hal pasti: suara rakyat tak lagi bisa diabaikan.