KALIMANTAN TIMUR – Pengambilalihan kewenangan pertambangan batu bara oleh pemerintah pusat di Kalimantan Timur (Kaltim) memunculkan tantangan baru bagi pengawasan lingkungan dan keselamatan masyarakat. Kebijakan ini dianggap mengurangi kontrol pemerintah daerah, sementara dampak negatif dari aktivitas tambang tetap dirasakan warga lokal.
Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bamperda) DPRD
Kaltim, Baharuddin Demmu, menyampaikan bahwa keputusan pusat justru menimbulkan
masalah tambahan, terutama lubang tambang (void) yang terbengkalai dan belum
direklamasi.
“Ketika ada masalah tambang, kepala daerah sering mengatakan
kewenangan sudah ditarik pusat. Dampaknya, tindakan nyata di lapangan menjadi
terbatas,” ujar Baharuddin, Minggu (26/1/2025).
Lubang Tambang dan Ancaman Lingkungan
Permasalahan lubang tambang yang tidak dikelola dengan baik
menimbulkan risiko serius bagi masyarakat dan hewan sekitar. Selain itu,
pencemaran air sungai akibat aktivitas pertambangan juga menjadi isu yang terus
dirasakan warga.
Menurut Baharuddin, lemahnya pengawasan inspektur tambang
dari pemerintah pusat semakin memperparah kondisi ini. Banyak tambang yang
tidak dipantau dengan efektif, sehingga kerusakan lingkungan dan potensi
konflik sosial meningkat.
Hilangnya Kontrol Daerah
Pengambilalihan kewenangan dimaksudkan untuk meningkatkan
efisiensi pengelolaan tambang, namun kenyataannya pemerintah daerah kehilangan
kontrol terhadap sektor pertambangan yang menjadi salah satu penopang ekonomi
lokal.
Baharuddin menegaskan, DPRD Kaltim tidak menuntut
pengembalian penuh kewenangan, tetapi meminta evaluasi menyeluruh agar
kebijakan ini memberikan solusi nyata di lapangan.
Harapan untuk Sinergi Pusat-Daerah
Langkah berikutnya, menurut Baharuddin, adalah peningkatan
koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, perbaikan pengawasan inspektur
tambang, serta keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan tambang. Program
reklamasi dan pemantauan lingkungan berbasis teknologi juga diperlukan untuk
mengurangi dampak negatif.
“Pusat harus tahu bahwa menarik kewenangan tanpa solusi
konkret justru menimbulkan masalah baru. Sinergi dan transparansi menjadi
kunci,” tegasnya.
Kebijakan ini menjadi pengingat bahwa pengelolaan
pertambangan yang berkelanjutan membutuhkan keseimbangan antara efisiensi
administratif dan tanggung jawab sosial terhadap lingkungan serta masyarakat
terdampak.