Resensi Buku Upacarakan Aku dengan Darah Keturunan
- Smaller
- Default
- Bigger
KUCHING-Kau bisa menulis dengan tinta, tetapi Jaya Ramba menulis dengan darah. Darah warisan, darah luka, darah yang mengalir dari sejarah panjang suku Dayak yang pernah dianggap sunyi. Kumpulan cerpennya, Upacarakan Aku Dengan Darah Keturunan, bukan sekadar buku sastra—ia adalah upacara kesadaran. Setiap halamannya berdenting seperti gong tua yang dibangunkan dari tidur panjang, memanggil roh-roh leluhur agar duduk sebentar di antara kata dan makna. Dalam dunia sastra yang kian sibuk dengan gaya, formula, dan algoritma pasar, Jaya Ramba muncul seperti seorang dukun yang datang membawa kitab kuno. Ia tidak menulis untuk memanjakan pembaca, tapi untuk menguji apakah pembaca masih sanggup menatap api roh yang tidak bisa dimatikan. Di tangan Jaya, kata menjadi mantra, cerita menjadi ritual, dan membaca menjadi pengalaman spiritual yang tidak bisa dilakukan dengan pikiran dingin. Baca selengkapnya