![]() |
| Data terkini dampak banjir Sumatera |
JAKARTA- 5 Desember 2025 – Tragedi banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, serta Sumatera Barat sejak akhir November lalu terus menorehkan luka mendalam bagi ribuan keluarga. Hingga sore ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 770 jiwa korban meninggal dunia, dengan 463 orang masih hilang. Dampaknya meluas: 3,2 juta jiwa terdampak di 50 kabupaten, 3.300 rumah rusak berat, serta kerusakan infrastruktur mencapai 45,48 persen jembatan, 32,92 persen fasilitas pendidikan, dan 20,21 persen tempat ibadah. Lebih dari itu, bencana ini tak hanya menimbulkan duka, tapi juga mengganggu agenda nasional krusial, termasuk penundaan Computer Assisted Test (CAT) seleksi petugas haji 2026 oleh Kementerian Agama (Kemenhaj) di ketiga provinsi tersebut.
Keputusan penundaan ini diumumkan secara resmi oleh Kemenhaj
sebagai respons langsung terhadap kondisi darurat yang masih berlangsung.
"Kami memprioritaskan keselamatan dan kesiapan masyarakat terdampak.
Seleksi CAT akan digeser hingga situasi stabil, agar petugas haji tetap optimal
dalam melayani jemaah," ujar seorang pejabat Kemenhaj dalam pernyataan
resminya, seperti dilaporkan Radar Semarang. Langkah ini mencerminkan betapa
dalamnya dampak bencana terhadap kehidupan sehari-hari, di mana bahkan
persiapan ibadah suci seperti haji pun terpaksa tertunda. Di tengah musim haji
yang biasanya menjadi momen penuh harap bagi umat Islam Indonesia, kejadian ini
menjadi pengingat bahwa bencana alam tak pandang bulu dalam mengganggu roda
kehidupan.
Namun, di balik angka-angka tragis itu, bencana Sumatera 2025
ini bukan sekadar musibah alam semata. Para pakar lingkungan menilainya sebagai
manifestasi nyata dari krisis ekologis yang telah lama diabaikan. Dr. Hatma
Suryatmojo, peneliti hidrologi dan konservasi daerah aliran sungai (DAS) dari
Universitas Gadjah Mada (UGM), menegaskan bahwa degradasi hutan hulu DAS
menjadi katalisator utama. "Hilangnya tutupan hutan di Sumatera—lebih dari
700 ribu hektar di Aceh saja sejak 1990 hingga 2020—membuat hujan ekstrem
langsung berubah menjadi limpasan permukaan yang destruktif. Hutan yang
seharusnya menyerap air kini hilang, digantikan perkebunan sawit dan tambang
yang merusak struktur tanah," katanya dalam analisis yang dipublikasikan
UGM pada 2 Desember 2025. Menurutnya, tanpa intervensi segera, pola ini akan
berulang, memperburuk kerentanan wilayah terhadap banjir bandang.
Pandangan serupa disampaikan oleh Dr. Heri Andreas, dosen
Teknik Geodesi dan Geomatika dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Dalam
wawancara dengan Mongabay Indonesia, ia menyoroti interaksi antara faktor
atmosfer dan degradasi lingkungan. "Cuaca ekstrem seperti siklon tropis
Senyar memang memicu, tapi kerusakan lingkungan yang sistematis—seperti
perubahan tutupan lahan dan penurunan kapasitas tampung wilayah—memperbesar
dampaknya. Di Sumatera Utara, curah hujan mencapai 300 mm per hari, tiga kali
lipat normal, tapi tanpa hutan sebagai penyangga, air langsung menyapu
segalanya," ungkap Heri pada 1 Desember 2025. Data BMKG memperkuat argumen
ini: hujan bulanan yang "tumpah" dalam satu hari saja, ditambah
deforestasi masif, menciptakan resep sempurna untuk bencana.
Dari perspektif teori lingkungan, bencana ini selaras dengan
konsep "kerentanan ekologis" yang dikemukakan oleh Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC) dalam laporan terbarunya. Teori ini menekankan
bahwa perubahan iklim antropogenik—seperti peningkatan emisi gas rumah
kaca—mempercepat pola cuaca ekstrem, sementara degradasi habitat lokal
meningkatkan kerentanan masyarakat. Di Sumatera, hilangnya 1,4 juta hektar
hutan antara 2016-2024 akibat industri ekstraktif seperti sawit dan
pertambangan, sebagaimana dicatat WALHI dan Greenpeace, menjadi contoh klasik.
Muhammad Ichwan, Direktur Eksekutif Jaringan Pemantau Independen Kehutanan
(JPIK), menambahkan, "Hutan hulu yang berubah menjadi lahan terbuka
membuat hujan ekstrem langsung menjadi banjir bandang penuh lumpur dan kayu
gelondongan. Ini bukan alam yang marah, tapi manusia yang lalai menjaga
keseimbangan," tegasnya kepada NU Online pada 1 Desember 2025. Pendekatan
teori ini menuntut paradigma pembangunan berkelanjutan, di mana konservasi DAS
menjadi prioritas atas eksploitasi jangka pendek.
Liputan media internasional semakin memperkuat urgensi isu
ini. The New York Times, dalam artikel berjudul "Storm Floodwaters in
Indonesia Turned Logs Into Floating Projectiles" pada 3 Desember 2025,
melaporkan bagaimana kayu gelondongan dari penebangan liar berubah menjadi
"proyektil mematikan" yang menghancurkan desa-desa di Aceh,
menewaskan ratusan jiwa. Sementara itu, BBC News Indonesia mengutip analis
WALHI yang menyebut bencana ini "diperparah oleh hilangnya tutupan hutan
untuk kebun sawit," dengan foto-foto dramatis menunjukkan skala kerusakan
di Tapanuli Tengah. Al Jazeera, melalui cerita korban di Agam, Sumatera Barat,
menyoroti bagaimana "pembalakan liar dan perubahan iklim membuat banjir
ini tak terelakkan," dengan lebih dari satu juta orang dievakuasi. The
Guardian bahkan membandingkannya dengan banjir Asia lainnya, mencatat 708
korban tewas di Indonesia saja per 2 Desember 2025, sebagai bagian dari pola
regional yang dipicu monsun ekstrem. Reuters melengkapi dengan data: 604 tewas
dan 464 hilang di Indonesia, ditambah korban di Thailand dan Malaysia,
menjadikan total regional mendekati 800 jiwa.
Analisis mendalam dari pakar lain, seperti Prof. Marzuki dari
Universitas Andalas, menegaskan bahwa dampak bukan murni iklim, melainkan
interaksi dengan kerusakan lingkungan. "Curah hujan tinggi memicu, tapi
jembatan putus dan sungai berubah alur karena aktivitas manusia seperti
pembalakan liar. Pengelolaan lingkungan adalah kunci mitigasi," katanya
pada 1 Desember 2025. Sementara Dr. Muhammad Rais Abdillah dari ITB menambahkan
dimensi atmosfer: siklon Senyar, yang lahir di Selat Malaka—wilayah ekuatorial
yang jarang terdampak—adalah tanda perubahan iklim global yang membuat pola
hujan tak terduga.
Pemerintah telah merespons dengan status darurat di ketiga
provinsi hingga 11 Desember 2025, distribusi bantuan logistik, dan tinjauan
Presiden Prabowo Subianto di lokasi. Namun, para pakar menyerukan lebih dari
sekadar respons darurat. WALHI merekomendasikan pencabutan izin konsesi rusak
lingkungan dan restorasi DAS kritis. UGM menekankan keseimbangan antara
keselamatan masyarakat dan pelestarian alam, sementara ITB mendorong kolaborasi
sains-geospasial untuk pemodelan risiko.
Bencana ini, yang kini memasuki minggu kedua, menjadi cermin
bagi Indonesia: negara kepulauan dengan 17.000 pulau rentan terhadap
hidrometeorologi. Dengan 2.726 bencana serupa sepanjang 2025, menurut BNPB,
waktunya bergeser dari reaktif ke proaktif. Seperti ditegaskan Hatma Suryatmojo,
"Ini turning point: bangun kembali dengan alam, bukan melawannya."
Hanya dengan mengintegrasikan teori lingkungan seperti kerentanan ekologis IPCC
ke dalam kebijakan, Indonesia bisa meminimalisir tragedi serupa. Saat bumi
Sumatera masih berduka, pelajaran ini harus menjadi fondasi masa depan yang
lebih tangguh.



